“Haluan negara yang dimaksud merupakan kaidah penuntun (guidingprinciples) yang berisi arahan dasar (directive principles) tentang bagaimana cara melembagakan nilai-nilai Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 itu ke dalam sejumlah pranata publik,” ujar Yasonna, di hadapan peserta Konferensi Nasional Hukum Tata Negara, Senin (2/9), di Jakarta.
Menurut Yasonna, urgensitas haluan negara bagi para penyelengara adalah sebagai pemandu penyelenggara negara dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan pembangunan nasional secara terencana dan terpadu serta berkelanjutan. Keberadaan haluan negara dipandang sebagai pelengkap dari keberadaan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, serta UUD sebagai hukum/norma dasar.
Menurut Yasonna, kandungan Pancasila yang mengandung prinsip-prinsip filosofis dan UUD 1945 yang mengandung prinsip-prinsip normatif, harus ditindaklanjuti dengan haluan negara yang mengandung prinsip-prinsip direktif (arahan) tentang kemana pembangunan nasional akan dilaksanakan.
“Nilai-nilai Pancasila masih bersifat abstrak, pasal-pasal konstitusi juga kebanyakan mengandung norma-norma besar (legal principle) yang belum memberikan arahan bagaimana cara melembagakannya,” ujarnya.
Memang saat ini, keberadaan haluan negara tidak diatur dan bahkan tidak disebut dalam UUD. Namun mengenai haluan negara tersebut diserahkan pengaturan dan penetapannya sebagai materi muatan dalam dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025.
Yasonna menyebutkan, terdapat berbagai kesulitan yang ditemui jika haluan negara hanya diatur dalam bentu Undang-Undang, -yaitu menyulitkan pelaksanaan RPJP. Hal ini disebabkan oleh baik pemerintah daerah maupun cabang kekuasaan lain memiliki kewenangannya yang otonom sebagaimana diatur secara khusus dalam undang-undangnya masing-masing. Hal ini kemudian berakibat kemungkinan RPJMN (Rencana Pemerintah Jangka Menengah Nasional) dan RPJMD (Rencana Pemerintah Jangka Menengah Daerah) yang tidak mengikuti arahan UU RPJP.
Oleh karena itu Yasonna menilai, daya jangkau hukum dari ketentuan Undang-Undang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU SPPN) dan Undang-Undang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (UU RPJPN) malah menciptakan diskonektivitas antar pemerintah daerah dan tidak bersinerginya antar cabang kekuasaan. Kelemahan lainnya menurut Yasonna, undang-undang tersebut dapat dengan mudah diubah jika Presiden yang baru terpilih memiliki visi yang berbeda dengan rencana Presiden sebelumnya.
“Inilah yang disebut dengan diskontinuitas pembangunan,” ujar Yasonna.
Untuk itu, gagasan menghadirkan haluan negara melalui perubahan terbatas UUD 1945 tanpa menggangu agenda penguatan sistem presidensial dimana pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tetap dilakukan secara langsung serta tanpa ada mekanisme pertanggungjawaban hukum atas pelaksanaan haluan negara oleh Presiden dan lembaga negara lainnya, menurut Yasonna merupakan suatu hal yang layak untuk dipertimbangkan.
Ia menilai, menjadikan haluan negara yang awalnya diatur oleh UU menjadi materi yang diatur oleh UUD merupakan sesuatu yang juga memiliki basis argumentasi hukum kuat mengingat hal semacam ini jamak dilakukan di berbagai negara dan merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk UUD.
“Untuk itu besar harapan saya kepada asosiasi pengajar Hukum Tata Negara (HTN) dan Hukum Administrasi Negara (HAN) sebagai wadah berkumpulnya ilmuwan ini untuk dapat turut serta mengkaji gagasan-gagasan baru yang dimaksudkan untuk menyempurnakan konstitusi kita,” pinta Yasonna. ( Mn )