DETIKEXPOSE.COM–JAKARTA– Langkah ICW dan beberapa LSM yang mau menggugat UU KPK, setelah direvisi ke MK dipertanyakan banyak pihak. Apa ada apa nih? Karena kalau dilihat lebih dalam, tidak ada pasal-pasal dalam revisi itu yang bertentangan dengan UUD 1945.
Kecurigaan itu salah satunya disampaikan Pakar Hukum Tata Negara Muhammad Rullyandi. Menurut dia, tak ada celah untuk menggugat UU KPK. Argumentasi soal cacat formil RUU KPK yang digunakan sebagai dasar gugatan.
DPR tak melakukan pelanggaran selama proses revisi. Selain itu, pasal-pasal hasil revisi juga tak bertentangan dengan UUD 1945 sebagai konstitusi bangsa. UU KPK yang baru disahkan DPR itu masih dalam koridor ketatanegaraan. “Secara formal revisi UU KPK sah,” tegasnya, kemarin.
Rullyandi juga menilai, revisi UU KPK itu merupakan penyempurnaan untuk penguatan kerja komisi antirasuah. “Bukannya untuk melemahkan. Ini dibuat dengan tujuan memberikan satu perbaikan untuk kepentingan bangsa dan negara,” imbuhnya.
Rabu (18/9) lalu, Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menyatakan, pihaknya dan beberapa elemen masyarakat lain akan segera mengajukan uji materi hasil revisi UU KPK di MK. Materi yang akan diuji terkait beberapa pasal krusial yang termuat dalam revisi. Di antaranya, keberadaan Dewan Pengawas, izin penyadapan, serta wewenang menerbitkan Surat Perintah Peng hentian Perkara (SP3).
ICW Cs menganggap, pasal-pasal tersebut berpotensi melemahkan KPK. Rullyandi tak setuju dengan ini. Dia menegaskan, Dewan Pengawas bertujuan untuk menjamin perlindungan hak asasi warga negara, terkait penyadapan yang dilakukan KPK.
Rullyandi mengingatkan, pengawasan terhadap penyadapan juga dilakukan terhadap lembaga antikorupsi negara-negara lain. Salah satunya, di Singapura. “Tanpa adanya pengawasan, kalau penyadapan itu disalahgunakan, siapa yang bertanggung jawab?” tegasnya.
Mengenai kewenangan menerbitkan SP3, Rullyandi menjelaskan, ini untuk menjamin kepastian hukum. “Perlu SP3 karena kita negara hukum,” tuturnya.
Rullyandi juga menyebut, langkah merevisi UU KPK itu tidak serta merta hadir. Tidak pula karena ada motif tertentu. Sudah dilakukan pengkajian secara matang oleh Pemerintah. “Revisi UU KPK dibuat setelah studi banding ke beberapa negara-negara di dunia. Sehingga UU lama dilihat masih banyak yang perlu disempurnakan,” beber dia.
Kemarin, gugatan atas UU itu sudah masuk ke MK. Gugatan itu diajukan sejumlah mahasiswa. Pihak MK pun bersiap mengecek pasal-pasal yang digugat tersebut. “Jadi, kita lihat nanti apa yang diuji oleh para pemohon,” ujar Ketua MK Anwar Usman, di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, kemarin.
Anwar memastikan, semua pendaftaran gugatan akan diterima dan disidangkan. Namun, mengenai di- te rima atau tidak, pembuktian da lam persidangan nanti. “Mengenai bagai- mana isi putusannya atau apa yang diuji, pasal berapa, kita lihat nanti,” sambungnya.
Praktisi hukum Firman Wijaya berpendapat, revisi UU KPK merupakan suatu langkah untuk menerapkan keadilan dalam penegakan hukum di lembaga-lembaga pemerintah. “Setiap lembaga negara harus diperlakukan sama. Jika di lembaga satu ada SP3, yang lain juga harus ada SP3,” tegas Firman, kemarin.
Firman berpandangan, perlu adanya prosedur yang jelas untuk mengukur keberhasilan kinerja suatu lembaga. Apalagi, lembaga yang menangani persoalan hukum. “Tindakan-tindakan penegakan hukum harus bisa diukur dengan pro- sedur yang jelas,” imbaunya.
Mantan Pimpinan KPK, Indriyanto Seno Adji, mengungkapkan, substansi re visi itu merupakan masukan dari pim pinan KPK sendiri. Masukan itu diserahkan Indriyanto saat menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR pada 19 November 2015.
“Pada penjelasan angka IV tercantum jelas adanya keinginan KPK untuk lakukan evaluasi dan mem beri masukan terkait revisi UU KPK, berdasarkan evaluasi, praktik, dan kelemahan sistem penindakan di KPK,” ungkapnya.